Upah Sektor Pariwisata Banyak di Bawah UMR Bali Tak Punya Sistem Pengupahan

Gemerlap citra priwisata Bali ternyata tidak selalu segendang sepenarian dengan upah tenaga kerja yang berkecimpung  di dalamnya. Banyak ternyata perusahaan di bidang pariwisata memberi upah karyawannya denga nilai di bawah upah minimum kabupaten (UMK), itulah soalnya. Realitas itu dipaparkan Ketua Pansus Ranperda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan DPRD Bali, Nyoman Parta. Menurut Parta, dia  menemukan ada karyawan dibidang pariwisata yang hanya diberi Rp 1,7 juta. Dan, kata dia, yang begitu jumlahnya lumayan banyak. Kami dapat selip gaji banyak dari tenaga kerja yang dibawah UMK. Banyak perusahaan besar, sudah populer, yang bergerak di bidang jualan souvenir, tidak memberi jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan terhadap karyawannya, cetusnya tanpa merinci lebih jauh identitas perusahaan dimaksd.

Persoalan – persoalan semacam itu, sambungnya, yang hendak dicari jalan keluarnya dengan membuat perda tentang perlindungan tenaga kerja lokal. Ruang lingkupnya nanti terkait pelatihan dan sistem pengupahan, serta intisarinya adalah adanya jaminan sosial ketenagakerjaan. Mengenai adanya saran tim ahli agar legislatif tidak mengambil penuh norma hukum yang ada untuk dimasukkan dalam perda, Parta menyebut yang dimaksud adalah mengatur lebih detail apa yang belum diatur. Misalnya perlindungan tenaga kerja lokal. Hal itu tidak diatur spesifik dalam aturan tenaga kerja, dan disanalah perda yang ingin dihasilkan itu akan berfungsi mengatur. Perda sifatnya responsif. Ada aturan (dan) ada lapangannya, ternyata aturan tidak bisa menyelesaikan semua. Perda memberi aturan baru yang bisa menyelesaikan, tapi tidak menyimpang karena sesuatu itu belum diatur. Tadi sudah ada masukan soal itu, urai Ketua Komisi IV DPRD Bali tersebut. Tim ahli DPRD, Dr. I Wayan Gede Wiryawan, mengatakan di Indonesia, dan itu berati termasuk di Bali, belum ada sistem pengupahan. Yang ada baru sebatas jenis – jenis upah seperti upah minimum sektor, struktur skala upah dan lain – lain. Yang dimaksud sistem pengupahan, terangnya, yakni pertama, harus ada regulasi khusus yang mengatur sistem pengupahan; kedua harus dibuatkan porsonel pelaksana dan pengawas; ketiga, jika diatur khusus akan terbentuk budaya. Kalau bicara upah, kita sudah ngerti siapa yang upah sektor, siapa yang upah minimum. Yang tertinggi itu upah layak, yakni upah yang mencerminkan kewajaran dan keadilan.

Dari kajian akademis, sambungnya, jika tidak diatur secara sistematis ,maka upah minimum berubah jadi upah rata – rata. Bahkan di beberapa tempat berubah jadi upah maksimum, bukan minimum. Kata dia, banyak perusahaan yang sebenarnya bisa menerapkan jauh di atas upah minimum, kalau sudah ditetepkan upah minimum oleh pemerintah, mereka malah menurunkan upahnya, hal itu, ungkapnya, antara lain karena pengusaha berpikir bahwa dia tidak melakukan pelanggaran jika memang standar upah minimum sudah ditetapkan pemerintah. Jadi, di sana peran Negara membuat sistem pengupahan terkait siapa yang menerapkan upah minimum sektor dan lain sebaginya. Ketika perusahaan itu jumlah pekerjanya seribu orang misalnya, apa wajar hanya hanya menerapkan upah minimum selama berpuluh – puluh tahun.