Ketua Komisi IV Usulkan Perda Perlindungan Bangunan Tua

Menjelang purna tugas, DPRD Bali periode 2014-2019 baru saja menyetujui pengesahan delapan rancangan peraturan daerah (ranperda). Namun sejumlah regulasi dipandang perlu untuk dibuat pada periode berikutnya. Salah satunya menyangkut upaya pelestarian bangunan-bangunan tua yang bersejarah. Usulan ini datang dari mantan Koordinator Pansus Perda Desa Adat yang juga Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Parta. Dia menyebutkan, aturan semacam ini perlu untuk dijadikan pegangan bagi masyarakat adat di Bali dalam memelihara keberadaan tempat suci mereka. Sehingga saat melakukan perbaikan, tidak sampai mengorbankan sisi historis dari pura itu sendiri.

Sebetulnya dalam undang-undang Cagar Budaya sudah ada diatur mengenai bangunan-bangunan bersejarah. Di Indonesia kan banyak jenisnya. Tapi dalam konteks Bali, harus dikongkretkan lagi. Bangunan bangunan tua (di Bali) itu salah satunya pura. Karena itu, ke depannya, baik DPRD maupun Pemprov Bali perlu membuatkan payung hukum terkait itu. Sehingga keinginan untuk memperbaiki pura tidak dilakukan secara sembarangan.

Karena ada hitung-hitungannya. Mana yang boleh dipugar. Mana yang boleh direkonstruksi. Mana yang boleh dibongkar. Harus ada kejelasannya. Sebab, sebuah bangunan, terlebih pura, memiliki banyak nilai-nilai yang berkaitan dengan adat dan budaya Bali saat ini. Baik yang menyangkut sisi pendidikan atau pengetahuan, kemudian sejarah, sampai dengan tokoh-tokoh di balik berdirinya sebuah pura. Bahkan pura itu (di zaman dulu) dibangun dengan semangat gotong royong. Berarti mereka itu orang-orang hebat. Tidak ada pakai ongkos. Semua selesai dengan ubi atau ketela.

Kemudian, dari sisi keilmuan, keberadaan pura di Bali memiliki nilai-nilai arkeologi. Karena bangunan-bangunan pura  memiliki arsitektur, gaya bangunan atau ornament yang memiliki zaman pendiriannya. Dari situ kenapa instansi kepurbakalaan bisa mencari tahu sejarah pura tersebut. Karena lihat bentuk-bentuk bangunannya. Pura ini sesuai ukirannya di bangun zaman ini. Dinasti ini. Termasuk material yang dipakai. Setiap zaman bentuknya beda, karena pengaruh budayanya beda. Lantas yang ketiga, di balik pendirian pura juga ada spirit orang Bali yang masih berlaku sampai sekarang. Yakni semangat untuk ngayah. Sementara spirit ini mesti dijaga.Pura-pura tua itu dibentuk seperti itu. Karena setiap bagian atau tahapannya dibuat atau dilakukan dengan mencari hari baik. Begitu juga dengan proses upacara ketika bangunannya selesai.

Lantaran banyaknya nilai-nilai yang terkandung dibalik keberadaan sebuah pura, itu sebabnya dia memandang perlu adanya Perda yang mengatur soal pelestarian tersebut. sehingga jangan sampai, karena mendapatkan hibah untuk perbaikan pura, prosesnya dilakukan dengan mengorbankan nilai kesejahteraan. Artinya begini, banyak bendesa adat asal mengajukan proposal. Pasti dapat (hibah) lewat anggota dewan. Tapi (sebagian dari mereka) tidak pernah berfikir bangunan apa yang dibongkar. Padahal bangunan yang dibongkar itu ternyata bangunan tua. Sehingga, sambung dia, saat bendesa adat mengajukan permohonan atau proposal hibah, sebelumnya sudah ada perencanaan yang matang. Apakah dibongkar full. Atau dipugar pada bagian-bagian tertentu yang rusak saja. Atau direkonstruksi dengan tetap mengikuti pakem atau gaya arsitektur yang sudah ada.

Ini dia contohkan dengan proses rekontruksi Pura Desa Adat Guwang di Kecamatan Sukawati, Gianyar. Kebetulan Parta berasal dari desa adat setempat. Begitu juga dengan bale kulkul di banjarnya Pak Kadek Diana. Itu direkonstruksi total. Sejatinya, usulan Parta tersebut telah disampaikan dalam forum resmi. Yakni pada sidang paripurna pengesahan  delapan ranperda yang turut dihadiri Gubernur Bali Wayan Koster, awal minggu lalu. Saat itu, Parta yang saat itu dalam kapasitas sebagai Koordinator Ranperda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan menyampaikan salam pamit. Di sela-sela itulah dia mengusulkan perlunya beberapa perda yang disusun di kemudian hari. Salah satunya yang dia sebutkan adalah Perda Perlindungan Bangunan Tua.