Kontrubusi Wisatawan Terbentur Payung Hukum

Masalah payung hukum menjadi batu sandungan bagi Bali untuk menarik kontribusi dari wisatawan. Pembahasan Ranperda Kontribusi Wisatawan oleh Pansus di DPRD Bali pun masih mentok. Padahal, sebelumnya Pemprov Bali mengklaim sudah mengantongi dukungan dari lima kementrian. Yakni Kementrian Perhubungan, Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementrian Pariwisata, Kementria Keuangan, dan Kementrian Dalam Negeri. Sementara masih di-cooling down karena masih terbentur aturan payung hukumnya, ujar Ketua Pansus Ranperda Kontribusi Wisatawan I Ketut Suwandhi. Suwandhi mengaku masih mencari solusi atas kendala tersebut. Termasuk melakukan konsultasi dengan sejumlah kementrian di pusat. Antara lain Kementrian Pariwisata, Kementrian Keuangan, dan Kementrian Perhubungan. Masalah payung hukum kembali muncu, terutama setelah ada surat dari IATA yang menyebut usulan adanya kontribusi wisatawan bertentangan dengan kebijakan perpajakan yang telah diterima dan dpublikasikan oleh ICAO di bawah naungan PBB. Dalam hal ini, Indonesia turut menandatangani Konvensi Chicago yang di pasal 15 berbunyi, Negara Peserta Perjanjian tidak boleh menegakkan biaya, iuran, ataupun pungutan lainnya sehubungan dengan hak untuk transit di atau masuk kea tau keluar dari wilayah Negara yang bersangkutan yang dimiliki oleh suatu pesawat udara ataupun penumpang atau property di dalamnya.

Selain itu, menurut IATA, penumpang internasional yang berangkat dari Bandara Ngurah rai, Bali saat ini membayar Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara sebesar Rp 225 ribu. IATA merupakan asosiasi dagang global untuk maskapai penerbangan yang beranggotakan lebih dari 290 maskapai dan mencakup 82 persen dari total lalu lintas udara global. Setelah dicermati lebih mendalam, IATA masih merapatkan barisan untuk membicarakan itu. Siap tidak IATA untuk dititipi. Menurut Suwandhi, kontribusi wisatawan tidak saja mencari dana untuk upaya perbaikan lingkungan dan pelestarian seni budaya Bali, juga harus memikirkan nilai tiket dengan adanya tambahan berupa konstribusi wisatawan. Sekarang saja harga tiket pesawat naik sudah rebut, jelas politisi Golkar ini. Jika memang masih dianggap bertentangan oleh IATA, Suwandhi menyebut sudah ada alternative kedua yakni menitipkan lewat hotel. Hanya, ada risiko konstribusi wisatawan tidak bisa dipungut maksimal. Kecuali di hotel-hotel besar atau BUMN milik pemerintah, memang kemungiknan tidak ada masalah. Di hotel menengah ke bawah yang milik-milik pribadi itu kan susah. Biasa itu, termasuk pajak hotel dan restoran juga kadang-kadang ada benturan disana.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mengatakan, seluruh stakeholder pariwisata di Bali telah setuju dengan adanya kontribusi wisatawan. Terlebih lagi, skema Pendapatan Pemprov Bali hampir tidak ada satu unsure pun yang berasal dari pariwisata sedangkan beban provinsi cukup besar untuk menata infrastruktur dan menjaga fasilitas – fasilitas pariwisata. Mereka mamahami dan tidak keberatan. Cuma sekarang yang perlu kita bicarakan adalah dimana akan dikenakan, ujar pria yang akrab disapa Cok Ace ini. Cok Ace tidak menampik, kntribusi wisatawan memang pernah direncanakan agar di pungut oleh IATA. Namun, IATA dilindungi oleh undang – undang internasional. Oleh karena itu, alternative lain yang muncul salah satunya membua booth untuk memungut di pintu masuk dan keluar airport. Kita lihat yang mana paling gampang, ataukah mungkin dihotel – hotel. Kalau di hotel langsung misalnya kita pungut di hotel yang pertama, baiknya apa, kelemahannya apa. Semua harus kita cari.